Sunday, January 23, 2011

PPN DALAM PERUSAHAAN TERPADU KELAPA SAWIT

Latar belakang timbulnya usaha terpadu :
1.    Anjuran pemerintah untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja
2.    Perkembangan dunia bisnis
3.    Kemudahan dalam pengawasan, karena berada dalam satu kendali
4.    Kemudahan dalam memperoleh insentif fiskal dari pemerintah, karena saat ini pemerintah sedang gencar – gencarnya mendukung perkembangan usaha terpadu.

Dalam kaitannya dengan penyerahan BKP/JKP, usaha terpadu melakukan kegiatan berupa :
1.    Lebih dari satu jenis usaha yang melakukan penyerahan yang terutang PPN, pajak masukan yang dibayar dapat dikreditkan seluruhnya.
2.    Lebih dari satu jenis usaha yang melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN, pajak masukan yang dibayar tidak dapat dikreditkan.
3.    Lebih dari satu jenis usaha yang melakukan penyerahan yang terutang dan tidak terutang PPN, pajak masukan yang dapat dikreditkan hanyalah yang dibayar berkaitan dengan usaha yang penyerahannya terutang PPN. Apabila dalam usaha tersebut terdapat biaya gabungan antara usaha yang penyerahannya terutang dan tidak terutang PPN (Joint Cost), maka pajak masukan atas biaya tersebut harus dipisahkan, dan yang dapat dikreditkan hanya yang berasal dari penyerahan yang terutang PPN. Namun apabila biaya tersebut tidak dapat ditelusuri sehingga tidak dapat dipisahkan, maka pajak masukan yang dikreditkan dihitung menggunakan metode pengkreditan pajak masukan dalam PMK 78/PMK.03/2010.

Berlakunya PMK 78/PMK.03/2010 dan efeknya
Salah satu contoh usaha terpadu adalah perusahaan minyak kelapa sawit / CPO (Crude Palm Oil) company. Pada umumnya perusahaan tersebut melakukan 2 jenis transaksi, diantaranya penyerahan CPO (Crude Palm Oil) dan penyerahan TBS (Tandan Buah Segar). Berdasarkan PP 31 tahun 2007, TBS termasuk dalam kategori barang strategis yang penyerahannya dibebaskan PPN, sehingga semua pajak masukan terkait penyerahannya terpaksa harus dibiayakan. Sedangkan penyerahan CPO terutang PPN, sehingga semua pajak masukan terkait dengan penyerahannya dapat dikreditkan. Ketika semua pajak masukan atas biaya yang dikeluarkan dapat dipisahkan secara jelas antara unit usaha yang terutang pajak dan tidak terutang pajak, berarti tidak timbul masalah dalam pengkreditannya. Namun ketika timbul joint cost antara 2 unit usaha tersebut, bahkan kini akibat kemajuan teknologi, produk yang dihasilkan semakin bervariasi, akan timbul keruwetan dalam memperhitungkan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Sebagai contoh yang terjadi pada PT SMART Tbk. yang merupakan anak perusahaan PT Sinar Mas Group, selain melakukan penyerahan TBS dan CPO, perusahaan tersebut juga menghasilkan produk hilir (produk lanjutan) dari CPO seperti turunan dari CPO berupa fatty acid, stearin dll.
Dari segi perhitungan pajak masukan yang dapat dikreditkan, PMK 78/PMK.03/2010 cukup logis untuk itu. Namun terkadang pihak perusahaan sebagai wajib pajak sangat kerepotan dalam menelusuri sampai begitu detail mengenai unsur – unsur nilai yang diperlukan dalam perhitungan pajak masukan tersebut, belum lagi harus melakukan perhitungan ulang pajak masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan penyerahan yang benar – benar terjadi dan masa manfaat atas BKP/JKP yang pajak masukannya akan dikreditkan. Tidak menutup kemungkinan perusahaan yang lalai dalam perhitungannya akan terseret dalam utang pajak yang jumlahnya sangat besar. Tidak sedikit perusahaan minyak kelapa sawit di Indonesia yang sudah bermasalah sampai di pengadilan pajak karena terbitnya PMK 78/PMK.03/2010.
Tinjauan atas peraturan terdahulu
Dalam KMK 575/KMK.04/2000 pajak masukan yang dapat dikreditkan hanyalah berasal dari biaya – biaya terkait barang modal saja. Berdasarkan PMK 81/PMK.03/2010, barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan. Namun dalam PMK 78/PMK.03/2010 pajak masukan yang dapat dikreditkan berasal dari semua pengeluaran terkait dengan penyerahan yang terutang PPN. Hal ini memberikan ruang kepada perusahaan untuk mengkreditkan seluruh pengeluarannya yang terkait dengan penyerahan yang terutang PPN tanpa harus memperhatikan apakah termasuk dalam kategori barang modal.

Contoh kasus :
Berikut ini contoh pengalaman seseorang mengenai perlakuan PPN terhadap usaha terpadu kelapa sawit yang diambil dari Harian Seputar Indonesia :

SUATU hari,saya bertemu dengan kawan lama. Dia sekarang pemilik perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan menjual CPO.
Sebelumnya, perusahaannya hanya menjual buah kelapa sawit, tetapi mulai tahun ini juga menjual CPO. Menurut ceritanya, karena kapasitas mesin pengolah CPO masih kecil, perusahaannya tidak sanggup mengolah seluruh hasil panen kelapa sawit. Dengan demikian, sisa yang tidak mampu diolah dijual dalam bentuk buah kelapa sawit.

Sebelumnya, perusahaannya tidak pernah mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diperoleh saat pembelian pupuk, pestisida, peralatan perkebunan, dan lain-lain, karena dia tahu penjualan buah kelapa sawit tidak terutang PPN. Namun karena sekarang perusahaannya juga menjual CPO,maka kondisinya berbeda, sehingga saat men-jual CPO terkena PPN 10%.

Perusahaannya selalu melaporkan SPT PPN, tetapi tidak pernah sepeser pun mengkreditkan PPN Masukan. Selanjutnya dia menanyakan apakah perusahaannya harus melaporkan PPN yang diperoleh dari supplier/vendor. Saya mengatakan bahwa penjualan CPO yang dilakukan oleh perusahaannya sudah sesuai dengan peraturan perpajakan, yakni terutang PPN.

Juga saya katakan bahwa merupakan hak perusahaannya untuk mengkreditkan PPN Masukan yang berkaitan langsung dengan produksi CPO, karena menurut peraturan perpajakan CPO termasuk Barang Kena Pajak (BKP). Tetapi dia bertanya, bagaimana cara memisahkannya antara PPN Masukan yang berkaitan langsung dengan produksi CPO dan produk buah sawit? Karena sebelum diolah jadi CPO produknya sama berupa buah kelapa sawit.

Sebenarnya peraturan perpajakan kita telah mengatur hal-hal tersebut. Menurut Pasal 3A ayat (1) UU No 8/1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 18/2000 jo PP No 144/2000 diatur bahwa CPO termasuk Barang Kena Pajak (BKP),sehingga penjualan atau penyerahan CPO terutang PPN.

Ketentuan Pasal 9 UU No 8/ 1983 antara lain diatur bahwa: Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.

Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana huruf a bagi pengeluaran untuk: (i) perolehan BKP atau Jasa Kena Pajak (JKP) sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP); (ii)perolehan BKP atau JKP yang tidak punya hubung an langsung dengan kegi atan usaha; (iii)perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jip, station wagon, van, kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; dan seterusnya sampai poin (ix)... Keputusan Menteri Keuangan No 575/KMK.04/2000, antara lain mengatur: Pasal 1 ayat (1), PKP yang menggunakan barang modal untuk: â–¼kegiatan usaha yang menghasilkan BKP dan atau JKP yang atas penyerahannya terutang PPN; dan â–¼kegiatan lain yang tidak terutang PPN dan atau dibebaskan dari pengenaan PPN.
dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Modal tersebut, yang besarnya sebanding dengan persentase penggunaan Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan BKP dan atau JKP, yang atas penyerahannya terutang PPN. Menurut ketentuan di atas, PPN Masukan yang dapat dikreditkan oleh perusahaan tersebut di atas adalah proporsional dari jumlah peredarannya.

Sebagai contoh, misalnya total penyerahan adalah Rp10 miliar terdiri dari penjualan CPO Rp7,5 miliar dan penjualan buah kelapa sawit Rp250 juta.PPN Masukan yang diperoleh perusahaan sebesar Rp400 juta. Maka, PPN Masukan yang dapat dikreditkan adalah 75/100 x Rp400 juta = Rp300 juta. Jadi, jika diilustrasikan: PPN Keluaran: Rp750 juta PPN Masukan: Rp300 juta PPN kurang bayar: Rp450 juta.

Contoh perusahaan terpadu kelapa sawit di Indonesia :
PBN tidak lagi memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di negara Indonesia sejak tahun 1990. Sektor swasta mulai mengambil alih dengan investasi terbesar. Sekarang investor swasta menjelaskan bagian terbesar dari perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini lebih cepat setelah krisis moneter pada tahun 1997 ketika sejumlah investor dari Malaysia mulai berinvestasi di perkebunan kelapa sawit di negara itu. Mereka mengakuisisi perkebunan dari perusahaan lokal menghadapi masalah keuangan sebagai akibat dari krisis atau membuka yang baru.

1.    PT Astra Agro Lestari

PT Astra Agro Lestari (AAL) adalah anak perusahaan Grup Astra. Ini adalah perusahaan holding untuk divisi agribisnis dari kelompok sekarang memiliki 29 perkebunan kelapa sawit sebesar 500.000 hektar. Sebagian perkebunan kelapa sawitnya berlokasi di Sumatera dan sisanya di Kalimantan dan Sulawesi.

Sekitar 91% atau 455.000 hektar perkebunan yang sudah produktif dengan tanaman berusia sekitar 11 tahun. Sisanya atau 45.000 hektar belum terlalu muda. Pada tahun 2004, PT AAL menjual perkebunan lain untuk berkonsentrasi pada perkebunan kelapa sawit.

Pada tahun 2009, AAL memulai pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit baru di Kalimantan Tengah, dengan kapasitas 45 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Sejauh ini AAL sudah memiliki pabrik CPO 20 dengan kapasitas pengolahan sebesar 940 ton TBS per jam. Termasuk satu mulai beroperasi pada bulan Desember, 2009, kapasitas akan meningkat menjadi 985 ton.

Perusahaan ini juga memiliki Tanaman Kernel Crushing. Saat ini memiliki 5 unit pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas total menghancurkan 600 ton kernel per hari. Kapasitas ini diharapkan meningkat sebesar 100 ton segera dengan pengoperasian yang baru di Jambi.

Pada tahun 2010, perusahaan berencana untuk membangun dua pabrik CPO yang baru dengan kapasitas 45 ton dan 30 ton TBS per jam masing-masing di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Perusahaan ini telah memutuskan untuk menyisihkan Rp 1,4 triliun untuk belanja modal di tahun 2010.

2.    PT Asian Agri

PT Asian Agri (PT. AA) merupakan perusahaan induk untuk divisi agribisnis Raja Garuda Mas Grup. PT AA memiliki perkebunan kelapa sawit di Sumatera termasuk di Sumatera Utara, Riau dan Jambi. Ini bekerja sama dengan petani setempat di bawah skema PIR.

Saat ini Asian Agri memiliki 28 perkebunan kelapa sawit dan pabrik CPO 19 di tiga provinsi. Pabrik-pabrik memiliki kapasitas total untuk menghasilkan 1 juta ton CPO per tahun. Perkebunan berkembang pesat dari hanya 100.000 hektar pada tahun 2006 menjadi 160.000 hektar pada tahun 2009.

Asian Agri Grup melalui anak perusahaan, Asianagro Agungjaya telah membangun sebuah pabrik bio-diesel di Dumai, Riau dengan investasi sebesar Rp350 miliar. Pada tahun 2008 memproduksi bio-diesel dari CPO dengan kapasitas produksi awal sekitar 200.000 ton per tahun. Kapasitas harus dua kali lipat dengan tahapan untuk 400.000 ton.

3.    PT SMART

PT SMART Tbk juga mengoperasikan industri terpadu termasuk perkebunan kelapa sawit, pabrik CPO, pabrik minyak goreng dan fasilitas produksi lainnya untuk produk hilir minyak sawit. Anak perusahaan Sinar Mas Group memiliki 102.556 hektar perkebunan kelapa sawit pada tahun 2005 berlokasi di Sumatera dan Kalimantan. Sebagian besar atau 91.480 hektar perkebunan telah produktif. Sisanya memiliki tanaman muda yang belum mulai memproduksi.

SMART memiliki pabrik-pabrik CPO 12 dengan kapasitas produksi sebesar 2,9 juta ton CPO per tahun dan 2 pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas produksi sebesar 200.000 ton minyak inti sawit (PKO) per tahun. Pada tahun 2005 itu hanya tiga pabrik CPO yang beroperasi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan dengan kapasitas produksi 450.000 ton CPO per tahun. PT Smart juga memiliki kilang minyak kelapa sawit memproduksi minyak goreng dengan kapasitas produksi 840.000 ton per tahun.

Saat ini SMART memiliki 129.796 hektar perkebunan kelapa sawit yang dibudidayakan 118.064 hektar telah produktif di Sumatera dan Kalimantan. Mengolah perkebunan meningkat dari 126.295 hektar dan tanaman menghasilkan diperluas dari 106.536 hektar pada tahun 2007.

Produksi CPO PT SMART dalam tiga bulan pertama tahun 2009 mencapai 121.697 ton turun 13,4% dari 140.495 ton pada periode yang sama tahun 2008. Penurunan ini mengikuti penurunan 12,11% dalam produksi 474.073 ton TBS untuk dari 539.400 ton. Kernel produksinya pada periode yang sama juga turun 14,1% menjadi 26.789 ton dari 31.181 ton. Penjualan CPO di tiga bulan pertama tahun 2009 mencapai 492.731 ton dan 67% dari yang diekspor.

4.    PT Bakrie Sumatera Plantation

PT. Bakrie Sumatera Plantations mengakuisisi perusahaan perkebunan karet dengan pabrik pengolahan, PT. Huma Indah Mekar, di Lampung dan minyak perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan PT tanaman CPO. Agro Mitra Madani di Jambi dengan total biaya Rp140 miliar. Pada saat yang sama PT. Bakrie Sumatera Plantations menjual aset non produktif seperti perkebunan kelapa sawit di bawah Patriot Andalas di Kalimantan Barat.

Pada tahun 2004, PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP) mengoperasikan 32.712 hektar perkebunan kelapa sawit termasuk anak perusahaan PT Bakrie Pesaman Plantation, PT Agrowiyana dan PT Patriot Andalas. Namun, 2.090 hektar di bawah PT Patriot Andalas telah terjual.

Grup Bakrie & Brothers merencanakan ekspansi besar di perkebunan kelapa sawit dan karet dan membangun pabrik minyak goreng sendiri.

BSP akan bekerja sama dengan International Finance Corporation (IFC), anak perusahaan Bank Dunia untuk membangun perkebunan kelapa sawit di Afrika Barat dengan investasi US $ 200 juta, mulai tahun 2010. Perusahaan berencana untuk mengakuisisi 200.000 hektar tanah di Afrika Barat dimana investor diperbolehkan untuk memiliki kontrol 100-tahun tanah.

BSP juga merencanakan ekspansi ke Kamboja di mana ia ingin membuka 10.000 hektar perkebunan dengan investasi sekitar US $ 30 juta. Sekitar 20% atau US $ 6 juta dari investasi akan di kas internal perusahaan dengan sisanya di pinjaman atau saham investor asing.

5.    PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (Lonsum)

Lonsum memiliki perkebunan kelapa sawit sebesar 41.870 hektar di Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Sekitar 27.359 hektar perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara telah produktif. Perusahaan memiliki 10 pabrik CPO dengan kapasitas pengolahan 220 ton TBS per jam.

Pada tahun 2004, Robert Kuok Hock-Nien dari Malaysia membeli saham PT Pan London Sumatera Plantation, yang memiliki 20,94% saham di Lonsum. Kuok mengambil alih saham dari Andre Pribadi, adik dari pemilik Grup Napan, Henry Pribadi.

Pada tahun 2007, Lonsum diakuisisi oleh kelompok Indofood melalui Indo Agri Resources Ltd dengan harga Rp 8,4 triliun. ING, Standard Chartered Bank, Sumitomo Mitsui Banking, dan Bank Central Asia memberikan pinjaman sebesar US $ 25 juta untuk akuisisi.

PT Indo Agri mengoperasikan industri terpadu termasuk perkebunan kelapa sawit, pabrik minyak goreng dan margarin dan pabrik shortenings dengan merek populer. Sebelumnya, Indo Agri sudah memiliki kebun sawit sebesar 224.083 hektar, termasuk 74.878 hektar telah ditanami. Dengan pembelian tersebut, perkebunan diperluas ke 387.483 hektar, termasuk 138.081 hektar yang sudah dibudidayakan. Secara keseluruhan, tanah yang dibudidayakan total 165.000 hektar, termasuk perkebunan karet dan perkebunan lain.

Pada semester pertama tahun 2009, Lonsum menghasilkan 170.000 ton CPO, dengan target ditetapkan sebesar 380.000 ton untuk seluruh tahun.

Saat ini, Lonsum memiliki 11 pabrik pengolahan CPO termasuk 4 unit di Sumatera Utara, 6 unit di Sumatera Selatan, dan satu di Kalimantan Timur. Ke-11 pabrik memiliki kapasitas pengolahan 405 ton TBS per jam.

Lonsum berencana untuk membangun pabrik CPO masing-masing di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur pada tahun 2010. Hal ini juga berencana untuk memperluas itu mengolah lahan sebesar 2.000 hektar. Saat ini memiliki 110.000 hektar perkebunan kelapa sawit dan 27.000 hektar perkebunan karet.

6.    PTP Nusantara IV

PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) adalah perusahaan perkebunan negara didirikan pada tahun 1996. Ini adalah penggabungan dari sejumlah perusahaan perkebunan negara di Sumatera Utara termasuk PTP VI, PTP VII dan PTP VIII.

PTPN IV telah tumbuh dengan perkebunan kelapa sawit, kakao dan teh sebesar 153.872 hektar. Perkebunan kelapa sawit total 119,585.71 hektar, perkebunan kakao 7.796 hektar dan perkebunan teh total 7,963.77 hektar. Ia juga memiliki peternakan plasma sebesar 9,158.56 hektar termasuk 8,996.56 hektar di perkebunan kelapa sawit dan 162 hektar di perkebunan teh.

PTPN IV juga memiliki 34 unit pabrik pengolahan termasuk 16 unit pabrik CPO dan fasilitas fraksi turunan kelapa menghasilkan minyak seperti RBD Olein, stearin dan asam lemak.

PTPN IV memiliki kapasitas produksi CPO 320.000 ton per tahun dan 31.000 ton PKO per tahun. Perusahaan ini adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar yang dimiliki oleh negara.

Pada tahun 2007, PTPN IV mengambil alih areal perkebunan kelapa sawit PT Andalas Agro Nusantara di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara sebanyak 20.000 hektar. Penanaman di atas 20.000 hektar lahan diharapkan akan selesai pada tahun 2011. Dengan akuisisi, perkebunan kelapa sawit PTPN IV akan diperluas untuk 135.978 hektar.

Perusahaan-perusahaan swasta mendominasi perkebunan kelapa sawit

Pada tahun 2009, perusahaan perkebunan swasta (PBS) memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di negara ini. Asian Agri dan anak perusahaan saja sudah 3,7 juta hektar terutama di Sumatera.

PT. Astra Agro Lestari (AAL) dari dia Astra Group memiliki sekitar 500.000 hektar yang berlokasi di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; SMART memiliki sekitar 320.463 hektar terutama di Sumatera dan Kalimantan.

Perusahaan perkebunan Negara (PBN) termasuk PTPN Nusantara IV dengan perkebunan sebesar 144.509 hektar di Sumatera Utara.

Investor Malaysia

Investor Malaysia mulai untuk mulai merambah di sektor kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1990 karena mereka tidak bisa memperluas bisnis di negara mereka. Selain itu, tidak ada pembatasan atas akuisisi perkebunan di negara awal tahun 1990-an. Harga tanah relatif murah rata-rata Rp35 juta per hektar.

Di Kalimantan, 30% perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh investor Malaysia. Para investor Malaysia umumnya memperoleh tanah dari petani setempat sudah siap untuk budidaya.

Diperkirakan perkebunan Malaysia dalam total negara sekitar 1 juta hektar dan 50% dari yang di Kalimantan dan Sumatra. Setidaknya ada 8 perusahaan Malaysia kelompok termasuk perusahaan negara yang beroperasi di Indonesia. Diantaranya adalah Grup Guthrie. Ini kelompok perusahaan yang memperluas operasi ke Indonesia dengan mengakuisisi perkebunan kelapa sawit dari Grup Salim.

About This Blog

visit abilesmana.blogspot.com

About This Blog

visit abilesmana.blogspot.com

Total Pageviews

  © Blogger template Brooklyn by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP